LU-OLO vs TAUR =
MARI versus XANANA: POVU SAI (Rakyat Menjadi) AYAM POTONG
By Vladimir Ageu DE SAFI’I (Timor Leste)
Dibandingkan dengan elisaun jeral
presidensial tahun 2007, maka elisaun 2012 ini terlihat lebih menarik. Pertama,
diikuti oleh 13 kandidat. Kedua, di tengah-tengah berlangsungnya kampanye,
seorang kandidat, Francisco Xavier do Amaral (Proklamador RDTL---Republica
Democratica de Timor Leste tanggal 28 November 1975) meninggal dunia karena
sakit. Ketiga, dapat dikatakan bahwa mayoritas kandidat tersebut adalah para
pemain lama dengan konsep lama yang mewakili kepentingan generasi lama.
Keempat, sejak awal telah diprediksikan bahwasannya kandidat yang akan masuk
dalam putaran kedua adalah berkisar antara Lu-Olo, Taur, Horta dan Lasama. Kelima,
dana subsidi untuk kanndidat yang baru dicairkan setelah proses pemilihan umum
berakhir. Keenam, bahwa banyak warga negara yang memiliki hak pilih yang tidak
menggunakan hak pilihnya karena terganjal dengan Undang-Undang Pemilihan Umum
yang mengharuskan untuk memilih di lokasi di mana Kartaun Elektoral dikeluarkan
serta tidak difasilitasinya bagi warga negara yang berada di luar negeri
(sekitar 100 ribu tidak menggunakan hak pilihnya dari total daftar pemilih yang
berjumlah 628.454.
Hal menarik lainnya adalah kekalahan
telak kandidat incumbent Ramos Horta dan Fernando Lasama de Araujo yang
suaranya tidak mencapai angka 80 ribu suara (17%). Kekalahan Horta sendiri
lebih banyak disebabkan tidak adanya dukungan politik dari Xanana Gusmao dengan
CNRT-nya sebagaimana yang pernah diberikan pada pemilu 2007. Sementara itu,
kekalahan Lasama lebih banyak dipengaruhi oleh beralihnya dukungan massa
Partidu Demokratiku kepada kandidat Taur Matan Ruak.
Akhirnya, elisaun jeral yang digelar pada
tanggal 17 Maret lalu berakhir dengan dilanjutkan pada segundo ronde karena
tidak adanya pemenang mutlak, yakni antara Francisco Guterres Lu-Olo dengan
perolehan suara mendekati 129 ribu (28%) dan Taur Matan Ruak dengan perolehan
suara lebih dari 113 ribu (25%).
Sejak awal, penulis sendiri telah
memperkirakan bahwa Lu-Olo yang dicalonkan oleh Fretilin (Frente Revolucionario de Timor Leste
Independente) akan masuk pada
putaran kedua. Prediksi ini bertentangan dengan pandangan banyak kalangan yang
menyatakan bahwa Lu-Olo tidak akan masuk putaran kedua karena suara Fretilin
akan terpecah-pecah, yakni lari ke Taur, Rogerio Lobato, dan Jose Luis
Gutteres.
Terkait dengan lolosnya Francisco
Guterres Lu-Olo dan Taur Matan Ruak ke putaran selanjutnya, telah banyak
menimbulkan rumor di tengah-tengah masyarakat bahwa pertarungan di antara
keduanya merupakan pertarungan antara Bandar judi utama yang bernama Mari
Al-katiri versus Alexander Kay Rala Xanana Gusmao. Ini merupakan pertarungan “balas
dendam” di antara kedua tokoh tersebut terkait dengan perbedaan peran sejarah
di masa lalu serta pandangan politik.
Mari Al-katiri merupakan salah satu
tokoh utama selain Xavier do Amaral, Nicolau Lobato, Ramos Horta, Rogerio
Lobato, Vicente Sahe, dan lain-lain di awal-awal kemerdekaan Timor Leste tahun
1975. Sementara itu, Xanana Gusmao yang peranannya kurang seberapa menonjol dan
di luar lingkaran kelompok tersebut adalah figur sentral yang dominan pada era
1980-an pasca meninggalnya tokoh-tokoh lingkaran ‘75’. Secara fisik, antara
Mari Al-katiri dengan Xanana tidak pernah bertemu pasca invasi Indonesia hingga
digelarnya referendum 1999.
Sejak awal, kelompok Mari Al-katiri
diidentifikasi sebagai golongan yang secara politik berideologi kiri (baik
sebagai komunis atau sosialis hingga hari ini tidak jelas). Peranan sentral
Mari Al-katiri mulai menipis ketika ia berada di luar negeri, yang artinya mulai
kehilangan control/kendali terhadap organisasi Fretilin di lima tahun pertama
serangan militer Indonesia.
Sedangkan Xanana sendiri, yang meskipun
turut membidangi lahirnya Partido Marxismo-Leninismo (PML) pada awal era
1980-an, ia, muncul sebagai salah satu tokoh penting dalam perjuangan
kemerdekaan pasca hancurnya kekuatan Fretilin akibat gempuran militer Indonesia,
lebih-lebih pasca tewasnya Nicolou Lobato pada tahun 1978.
Dengan melihat situasi serta kondisi
gerakan perlawanan yang tercerai-berai, maka sebagian pemimpin perlawanan pada
waktu itu memandang perlu membentuk wadah baru yang mampu menampung semua
partai politik dan “kekuatan-kekuatan sosial-politik lain” dalam negeri yang
sebelumnya mendukung integrasi Timor Leste dengan Indonesia. Untuk menampung
aspirasi semua kelompok, maka didirikanlah CNRN (Conselho Nacional da Revolucionario Nacional).
Organisasi ini merupakan wadah baru sebagai usaha untuk mempersatukan semua
orang Timor Leste baik yang masih tinggal di Timor Leste maupun di luar negeri
(Indonesia, Australia, Portugal, dll) yang berkeinginan untuk merdeka dan
melepaskan diri dari penjajahan Indonesia. Dengan sendirinya, lahirnya CNRN ini
menegasikan/menghilangkan peranan Fretilin dalam perjuangan.
Selain itu, dengan dipakainya istilah
‘revolusioner,’ CNRN kurang dapat diterima oleh para kekuatan politik lainnya,
seperti dari kalangan gereja dan para pemimpin UDT, João Carascalo, yang
bermukim di Sidney, Australia. Kelompok ini berpandangan bahwa istilah tersebut
berkonotasi kiri atau ada hubungannya dengan ideologi komunisme. Sebagai
respon, agar persatuan rakyat Timor Leste dapat terwujud dan perlawanan dapat
berlangsung efektif, maka para pemimpin perlawanan seperti Xanana Gusmao,
Mahuno, Hodu Ran Kdalak, Bere Malailaka, Konis Santana, Taur Matan Ruak, Lere
Anan Timor, David Alex, dan lain-lain memutuskan mendirikan CNRM (Conselho Nacional da Resistençia Maubere).
Dibubarkannya CNRN dan didirkannya CNRM,
tidak serta-merta diterima oleh kelompok-kelompok politik sebagaimana
dijelaskan di atas. Mereka beranggapan bahwa istilah ‘maubere’ identik dengan
Fretilin sayap kiri. Akhirnya, setelah dilakukannya serangkaian diskusi dalam
kalangan Dewan Tertinggi Perlawanan memutuskan untuk membentuk wadah baru
dengan nama CNRT (Concelho Nacional da Resistênçia Timorense/Dewan Nasional Perlawanan Bangsa
Timor).
Dibentuknya CNRT juga menimbulkan
penentangan dari para pemimpin di dalam negeri, seperti sikap yang ditunjukkan
oleh Nino Konis Santana beserta kelompoknya. Meskipun mendapat penentangan,
CNRT tetap dibentuk dan dijalankan dengan pertimbangan bahwa situasi dan
kondisi mengharuskan fase ini untuk dilalui. Konsekuansi dari disepakatinya wadah
baru bernama CNRT, maka Falintil (Força
Armadas da libertação de Timor Leste) pun dipaksa untuk “memutuskan
hubungan kepartaian” (despartidarização) dari Fretilin dan menjadi
“angkatan bersenjata nasional” di bawah pimpinan CNRM.
Dengan demikian, oleh kalangan Fretilin,
Xanana diidentikkan sebagai orang yang telah menghancurkan Fretilin bersama
para pengikutnya. Maka tidak heran, jika di era kemerdekaan ini, suhu
permusuhan antara orang-orang Fretilin dengan orang-orang CNRT yang dimotori
oleh Xanana masih terus terasa dan berlanjut, walaupun Xanana mencoba mengubah
singkatan huruf ‘R’ dari Resistênçia menjadi Recontrução.
Secara
teoritis, dapat saja dikatakan bahwa elisaun jeral 2012 merupakan bagian
terpenting dari konsep demokrasi partisipatif yang mencoba diterapkan di negeri
ini. Namun, realitas politik menunjukkan bahwa elijer kali ini telah menjelma
menjadi arena pertarungan ‘futu manu’ (sabung ayam) antara Mari Al-katiri
dengan Lu-Olo-nya melawan Xanana Gusmao dengan Taur Matan Ruak-nya.
Ini merupakan
pertarungan penghabisan bagi kedua kelompok tersebut. Sebuah pertarungan yang
terkait dengan peranan di masa lalu. Pertarungan menyangkut harga diri keduanya.
Pertarungan menyangkut eksistensi kedua figur tersebut serta dinasti mereka di
masa yang akan datang. Maka, cerah dan gelapnya masa depan mereka akan sangat
ditentukan oleh masa atau periode 2012-2017 ini.
Jika saja,
rumor tentang pertarungan balas dendam ini benar-benar dan sedang terjadi, maka
yang menjadi ayam potongnya adalah rakyat. Slogan demi ‘povu’ dipakai sekedar
untuk dijadikan sebagai bahan penarik perhatian povu agar mau terlibat
dalam arena pertaruhan joga futu manu. “Dukung dan pilih kami, karena
kami adalah ‘jenderal’ pejuang kemerdekaan yang sejati/original. Dan hanya kami
yang paling pantas memimpin negeri ini.”
Jika rumor
ini benar-benar ada, sesungguhnya ‘pesta demokrasi’ yang selalu dikampanyekan
sebagai ‘pestanya’ rakyat, dalam konteks ini hanyalah sebuah kegiatan politik
penghambur-hamburan uang rakyat. Sebuah anggaran yang akan lebih memberikan
benefisu bila diperuntukkan untuk pembangunan kesejahteraan rakyat. Sedangkan
untuk penyelesaian ‘politik gengsi’ dapat dilaksanakan dalam lingkaran meja
dengan tidak melibatkan rakyat yang sesungguhnya tidak tahu apa-apa.
Seberapa Besar Kekuatan di antara Keduanya?
Secara
historis, kekuatan sosial politik modern di Timor Leste terbagi dalam dua
kekuatan besar, yakni Fretilin (ASDT-Fretilin) dan CNRT. Fretilin dibentuk
sebagai sebuah kebutuhan untuk menghadapi invasi Indonesia serta gerakan kontra
revolusi kemerdekaan yang dilakukan oleh UDT (União Democratico Timorense), APODETI (Associação Popular Democratico de Timor), dan KOTA (Klibur Oan Timor Aswain). Sebagai sebuah organisasi
yang berbentuk ‘frente,’ di mana ASDT (Associação Social Democrata Timorense) sebagai kekuatan utamanya, Fretilin diwarnai friksi dan faksi di
dalamnya. Tiga faksi terbesar saat itu adalah ASDT-Mari dan Horta cs,
ASDT-Xavier do Amaral, dan Falintil-Lobato. Kuatnya tekanan militer Indonesia
menjadikan ketiga faksi tersebut tercerai-berai.
Fase
pengkonsolidasian Fretilin dimulai kembali pada awal ’80-an. Namun konsolidasi
ini tidak berlangsung lama, seiring dengan munculnya pemimpin perlawanan baru
di luar ketiga faksi tersebut, yakni Xanana Gusmao dengan konsep ‘unidade
nasional’-nya. Situasi ini makin diperparah semenjak dipisahkannya Falintil
dari Fretilin, serta seiring dengan mulai tersingkirnya orang-orang Fretilin
dari Falintil, dan masuknya orang-orang CNRT ke Falintil.
Fretilin
kembali dikonsolidasikan pada awal-awal kemerdekaan. Pengkonsolidasian ini
melibatkan orang-orang Fretilin Lama dengan orang-orang Fretilin Baru.
Pengkonsolidasian yang ditandai dengan keikutan Fretilin dalam pemilihan umum
pertama, serta dominasi kekuatannya di Governo Konstitusional I (termasuk
mayoritas mutlak di Asemblea Konstituante) diwarnai dengan berbagai macam protes
dan ketidakpuasan dari individu-individu atau kelompok non-Fretilin. Dan puncak
dari ketidakpuasan ini berakhir dengan digulingkannya Fretilin-Mari Alkatiri
dari kursi kekuasaannya pada tahun 2006. Penentangan terhadap Fretilin semakin
menemukan bentuknya ketika tahun 2007, Xanana Gusmao menghidupkan kembali CNRT.
Ketegangan di antara dua figur nasional ini semakin memuncak seiring dengan
kalahnya Lu-Olo dalam elijer presidensial 2007 serta dalam forma governu yang
dimenangkan oleh kelompok Xanana dengan AMP-nya.
Penulis dalam
artikel ini sengaja tidak memasukkan PD-Lasama (juga PSD, UDT, PST, dan
partai-partai lainnya) sebagai kekuatan tersendiri, mengingat secara emosional
dan politik memiliki hubungan historis dengan Xanana Gusmao (lebih-lebih saat pembentukan
pemerintah AMP (Aliança Maiora Parlement). Lalu, seberapa besar dan
darimana kekuatan kedua kandidat dalam pemilihan segundo ronde tersebut?
Dapat dikatakan bahwa suara yang didapat oleh Lu-Olo (sekitar 129 ribu)
dalam putaran pertama adalah murni berasal dari massa pendukung Fretilin.
Sementara untuk Taur, suara yang didapat (sekitar 113 ribu) diperkirakan
berasal dari berbagai unsure kelompok politik, seperti sebagian besar massa
CNRT, sebagian kecil massa PD, golongan veteran Falintil non Fretilin-Lobato,
serta simpatisan Xanana Gusmao lainnya. (BERSAMBUNG)*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar